Kalau urusannya dengan uang, semua orang mau paham. Dulu taunya cuma “gak bisa gak bisa”, tapi ga dipikirin adakah makna yang lebih besar dari sekadar ga bisa itu.
Dulu itu “gak bisa gak bisa”. Yaudah, dijadikan kesempatan dalam kesempitan. Lagian mereka berpikir kalau gua tuh aset mereka, dikirim buat mereka, maka sama aja dengan yang terjadi di Raja Ampat dan aset bangsa lainnya – digadaikan demi secuil rasa menang.
Apalagi temen-temen dari masa lalu gua. Dulu juga “gak bisa gak bisa”. Gua lebih baik dari dia.
Namun kini setelah kita lebih dewasa, harus bekerja, dan nilai harta itu begitu berharga, barulah mereka sadar, kalau uang dari masa depan itu masih jauh jauh jauh lebih pantas untuk diperjuangkan.
Andai saja dulu adalah sekarang dan sekarang adalah dulu. Atau gimana gitu. Sekarang adalah sekarang, dulu adalah dulu. Dulu itu nanti ya nanti, kita maunya sekarang. Dan sekarang yang mereka kejar itu sekarang menjadi dulu.
Rugi banget. Dulu masih kecil. Belum paham arti uang dan pekerjaan. Sekarang harus kerja, cari uang, peras keringat, mematuhi perintah atasan. Gua liat tampang mereka berubah, dari yang dulu waktu bertumbuh dewasa punya self-authority, menjadi lusuh karena kerjaannya hanya jadi pesuruh.
Harta tahta wanita. Dulu mereka pikir mereka layak untuk ketiga hal tersebut. Namun kenyataannya, hidup di negara dunia ketiga, dan menjadi bagian dari akar rumput, kerja itu susah. Menjadi tukang suruh, tidak punya harga diri, tidak punya lagi self-authority. Dari tampangnya gua liat gua ketemu beberapa dari mereka, sekarang binar mata intuisi itu padam. Lekukan senyum keberanian itu menjadi tua dan keriput karena rasa was-was, betapa susahnya mendapatkan sedikit harta.
Dan sekarang mereka paham, bahwa uang itu tidak didapatkan semudah yang mereka pikirkan waktu mereka muda. Sekarang mereka harus mau dan menurut kalau disuruh-suruh supaya mendapatkan uang.
Dan tiba-tiba semuanya menjadi masuk akal. Kalau urusannya berkaitan dengan uang, semua orang mau paham.